rewa

rewa
rf

KEMBALI KE FITRAH DI BULAN SYAWAL

By Desi Awal Mar’ah

Ramadhan yang kita cintai telah usai untuk edisi tahun ini. Kita akan segera menginjak bulan yang baru yaitu Syawal yang terdapat hari besar kita umat muslim yaitu Idul Fitri.
Idul Fitri adalah hari raya yang datang berulangkali setiap tanggal 1 Syawal, yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya kata fitri di sini diartikan “berbuka” atau “berhenti puasa” yang identik dengan makan minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan makan-makan dan minum-minum yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan-nan.
Allah.swt berfirman yang artinya:

"(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”)"
. (al-A’raf  7 :172)      
Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahmi.       


Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.      

(Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda : ”Barangsiapa melaksanakan Qiyam ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu". Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Sayyidina Abu Bakar.ra dan pada awal pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab.ra).      

(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya").

Terminologi yang Salah

Banyak umat islam saat ini yuang mengartikan idul fithri sebagai ‘Perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum‘ sehingga tadinya dilarang makan di siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam, atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan kemudian. Karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan.
Ringkasnya kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat yang shaleh musiman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrahan dan nilai ketaqwaan.
Terminologi Idul Fitri seperti inilah yang harus dijauhi dan dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna idul fitri sendiri yang sebenarnya terdapat makna yang lebih mendalam lagi dari kata Idul Fitri, yang seharusnya dimaknai sebagai ‘Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci‘ sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyamul lail, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.

Sikap Kita Terhadap Idul Fithri
Sikap yang harus kita punyai Ketika merayakan Idul Fitri setidaknya ada tiga sikap, yaitu:
1.    Rasa penuh harap kepada AllahSWT (Raja’). Harap akan diampuni dosa-dosa yang berlalu. Janji Allah SWT akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras” sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
2.   Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah sarat dengan makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja disiang bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Kita harus terhindar dari sabda Nabi SAW yang mengatakan banyak orang yang hanya sekedar berpuasa saja sekedar menahan lapar dan dahaga saja: “Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar dan dahaga“.
3.   Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena predikat taqwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102). ( Wallahu A’lam)
Sumber : Lembar Risalah An-Natijah No. 39/Thn. XIII  -  26 September 2008

0 komentar:

Posting Komentar

bagaimana tampilan blog ini?