rewa

rewa
rf

Cerpen ^_^


Cerpen
Karena dijalan ini kita bertemu

Mentari sudah lama menampakkan dirinya. Pada lukisan alam, ia turut berperan dalam siklus kehidupan. Peran yang tak mungkin dapat digantikan dengan mahluk lain selain dirinya. Ia tampak tenang, diam-diam embun didedauanan hampir mengering, tersapu oleh cahayanya. Diam-diam pula, Ia transfer hangat sinarnya pada tubuh-tubuh rapuh seorang mahluk yang bernama manusia.
nikamat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan”, kembali teringat surah Ar-rahman yang usai ku khatamkan pagi tadi. Pertanyaan yang semestinya sudah dapat terjawab. Nikmata-Nya semakin dekat, sebuah nikmat yang Allah berikan tanpa nota penagihan diakhirnya. Masihkah diri mendustakan dari nikmatNya?
Entah kenapa hari ini Aku ingin sekali memakai jilbab pemberian Hanum. Jilbab hitam di hari yang bermatahari seperti ini pasti sangat panas, tapi entah kenapa Aku sangat ingin.  Aku ingat sekali kapan Hanum memberikan jilbab ini padaku. Ya aku sangat mengingatnya, saat Aku mengatakan ingin masuk lembaga dakwah kampus. Aku ingat dia, entah tiba-tiba saja Aku mengingatnya
`Syuro[1]`. Terbaca jelas di agendaku. Ku tulis dengan tinta merah dan ku perbesar hurufnya. Aku tak kan mungkin absen pada agenda itu. Aku siap berangkat. Ku amati tubuhku didinding. Jilbab hitam dipadu dengan gamis biru. Tak pernah ku bayangkan sebelumnya dapat seperti ini. Berjilbab rapi. Lagi-lagi Hanum, ya Hanumlah yang mengajak ku berjilbab sampai saat ini.
ukhti[2] ana[3] gak mau anti[4] berguguran dijalan ini”, pesannya saat itu.
jalan ini banyak memberikan ana pelajaran ukhti. ana tidak merasa sempurna ketika disini, tapi ana merasa dapat menyempurnakan orang lain dengan tetap istiqomah dijalan ini. Ana sayang anti”, disentuhnya pundakku. Matanya berbinar, seakan saat itu ia ingin mengatakan, “Allah tidakkan tinggalkanmu sendiri ukhti, begitupun ana”.
Ahh, kembali muncul sketsa wajah Hanum di dalam kaca mejaku, senyumnya manis. semanis wajahnya. dibalut jilbab biru ia tampak anggun. Saat itu ukhuwah begitu terasa. Dia begitu nyata bagiku, dia saudariku.
***
Aku sudah tiba di ruangan rapat kami. Disinilah kami menjadi konseptor, bukan hanya mengkonsep tapi juga sebagai pelaku-pelakunya. Di depan pintu ruang kami, akan terlihat jelas `LEMBAGA DAKWAH KAMPUS, Perbaiki Diri Gapai Ridho Ilahi`. Ya, itulah kata-kata penyemangat kami. Aku kemblai teringat kata-kata seorang akhwat, “di LDK bukanlah kumpulan dari malaikat-malaikat, tapi orang-orang di LDK adalah kumpulan orang-orang yang siap dan mau memperbaiki diri. Inilah bengkelnya LDK Al-Ishlah”. Ruangan rapat kami tak terlalu lebar. Disinilah kami berbagi, bukan hanya berbagi ide tapi berbagi cinta. Ruang ini sebagai saksi bahwa hati kami penuh cinta karna-Nya dan bertaut di jalan-Nya. Ruangan ini sengaja kami bagi menjadi dua ruangan, karena kami sama-sama butuh privasi. Laki-laki dan perempuan, kami lebih senang menamainya ruang akwat dan ruang ikhwan. Sudah pasti tak ada yang boleh masuk tanpa izin. Khusus ruang akhwat kami sangat menjaganya. dinding pembatasnya hanya terbuat dari triplek, yang suaranya mengelegar jika diketuk. Disertai gorden biru sebagai pintunya pembatasnya, yang kini warnanya sudah hampir memudar. beberapa postingan, i`lanat[5], dan informasi dari berbagai divisi tak pernah absen numpang pamer didinding putih yang catnya juga hampir memudar. Disudut ruangan ada satu meja kayu coklat, cukup untuk meletakkan kertas-kertas hasil kerja kami. Meja kayu itu beriringan dengan lemari berkaca, yang isinya barang-barang jual divisi ekonomi. Lantainya hanya berkarpetkan bekas sepanduk kegiatan kami. Yang paling ku suka adalah `agenda milad[6] kader`. Dihias dengan kertas minyak yang dipadu dengan spon dan steorofom. Semua tanggal milad kader akhwat tertulis jelas, lengkap dengan nomor handphonenya.  Hati kami penuh kebahagiaan. “Robb, inilah kami”, bisiku dalam hati.
Aku duduk disalah satu sudut ruangnya. Suara murotal dari komputer second kami, disetel sayup-sayup.
sudah lengkap diakhwat, ukhti?”, suaranya berat, terdengar jelas dari sebrang papan triplek kami. Ruang ikhwan[7]. Sepertinya ketum kami.
tinggal menunggu ukh[8] Hanum. Sebentar lagi, katanya beliau mau datang”, ucap Maya.
Aku terkejut, `Hanum mau datang? Bukankah??`. Kembali teringat pertengkaranku dengan Hanum lima hari yang lalu.
Assalamualaikum…”, suara pelan sedikit ditekan, mengagetkan kami yang tengah khusuk mendengarkan suara Syekh al-Husary.
oh ukh hanum, tafadhol[9] ukh.”, mb Sarah segera mempersilakan Hanum duduk.
ana gak lama-lama kok mb”, ucap Hanum perlahan.
khaifa[10], sudah bisa dimulai syuronya”, suara ikhwan. Lagi-lagi ketum.
afwan[11] akhi, sebentar. Ana butuh 15 menit”, ucap Hanum, mengerakan suaranya.
Kini Hanum menatapku. Aku tak mampu membaca tatapanya, aku hanya berharap ia mengurungkan niatnya yang ia kata kan padaku saat pertengkaran kita lima hari yang lalu. Tak lama, pandanganya tunduk. Mb Sarah berusaha menenangakan Hanum yang mulai menitikan air dari sudut matanya.
afwan, mungkin ana memang tidak bisa bersama-sama antuna semuanya lagi”, kini tubuhnya tergoncang. Mb Sarah mengenggam erat tangan hanum.
ana tidak dapat mengatakan apa alasanya pada antuna semuanya. Bukannya ana tidak tsiqoh[12] pada antuna tapi ana fikir cukuplah alasan itu Allah, ana dan murobbi[13] ana yang tahu.”, Hanum kembali terisak. Kini makin menjadi, butiran bening dari sudut matanya bertambah deras.
Semua terdiam, hanya lantunan murotal dari komputer yang kini terdengar.
kenapa anti dek?”, Tanya mb Sarah memberanikan diri.
afwan mb.
***
Malam ini giliran Hanum yang memasak untuk saur. Aku sudah ada didepan meja makan saat Hanum selesai menyajikan makan sahur kali ini. Tak lama handpone ku berdering, pesan masuk `ukhti sayang ayuk lail, jangan lupa saum juga ya`. Sms dari divisi keputrian.
ana tidak bisa bersama anti lagi, Cha”, tiba-tiba. Suaranya terasa berat ditelingaku. Seketika itu pula ku hentikan suapan makan sahur kemulutku.
maksud anti?”, tanyaku bingung. Ku amati lekat-lekat wajahnya. Ya, memang kini tak sama seperti dulu lagi.
ya, mungkin memang ana termasuk dari orang-orang yang berguguran dijalan ini. Afwan ukhti”, tangisnya kini.
ana tidak meninggalkan dakwah ini sepenuhnya kok, ana hanya pindah di wajihah lain”, ucapnya lagi. Kini ia berusaha menekan tangisnya.
Aku hanya diam, amarah membuncah pada hatiku. Tak dapat ku katakana apapun lagi padanya. Ku rasa ia sudah faham tentang jalan dakwah ini dari pada aku. Tapi kenapa ini yang ia katakan??
sudah lah, ana tak mengerti apa yang anti katakan”, ucapku tanpa melihatnya. Aku yakin kata-kataku itu kini menyakiti hatinya.
ukhti, afwan”, ucanya lagi. Kini lebih lirih.
ana kira anti faham kata afwan. Bukan hanya afwan ukhti, tapi itikat baik anti. entahlah. Sebenarnya apa alasan anti itu tidak penting bagi ana. anti yang bilang jalan ini indah. anti juga yang mengajak ana mati-matian dijalan ini. Masih ingatkah? Yang tak ana habis fikir, salah apa kami??? Mengapa begitu mudah anti selingkuhi kami dengan yg lain. Kurangkah perhatian kami pada anti, kurangkah sayang kami pada anti???”, perlahan air bening itu menetes juga dari ujung mataku. Tak dapat ku tahan. Rasa ini begitu menyakitkan.
siapa yang mengenalkan jalan indah ini pertama kali pada ana? Atau anti lupa? Lupa pada janji-janji anti? Dan anti lihat sekarang, antilah yang terlebih dahulu angkat kaki meninggalkan kami.”, ucapku melanjutkan.
 ana berat ukhti, ana pun berat melepaskan antuna. Jalan dakwah ini”, ucap Hanum
berat? Ana faham jalan ini berat. Bukan kah anti yang mengatakan bahwa kita bukan kumpulan malaikat, tapi kita adalah kumpulan orang-orang penuh dosa yang ingin memperbaiki diri. Kecewakah anti pada kami? Ana sedih ukhti… sesederhana itukah cinta anti pada jalan ini?”, ku luapkan kekesalanku malam itu. Malam yang seharusnya menjadi kegembiraan. Malam yang sunyi disepertiga malam-Nya. Malam yang seharusnya menjadi jam-jam untuk berdua saja dengan Allah.
***
“andai dapat ku mengatakan padamu
`Jangan pergi`
Maka itu kan kulakukan
Untuk mencegah langkah cepatmu.
Ingin ku tanyakan padamu,
`seindah apa pilihanmu,
Sampai tega hatimu meninggalkan kita`,
Aku rindu peluk hangat pada tubuh rapuhku,
Ingin ku tagih ucapmu saat itu
Bahwa kau tak kan tinggalkan kami,
Seberat apapun dan serusak apapun kami`
`jalan ini memang berat ukhti`.

Malam ini masih dingin. Masih sakit, amat terasa. Sedih tak kunjung sirna. Malam ini masih sama seperti malam-malam setelah pertengkaran itu. Kini ku habiskan suapan terakhirku, tanpa Hanum. Bintang jadi saksi, bahwa aku tak mungkin dapat membencimu. Karena aku mencintaimu, karena Allah. Karna dijalan ini kita bertemu.


[1] Rapat
[2] Panggilan untuk saudara perempuan dalam bahasa arab “mbak atau kakak”
[3] Aku (dalam bahasa Arab
[4] Kamu perempuan
[5] pengumuman
[6] ulangtahun
[7] Laki-laki (dalam bahasa arab)
[8] Singkatan dari ukhti
[9] Silakan (dalam bahasa arab)
[10] Bagaimana (dalam bahasa arab(
[11] maaf
[12] percaya
[13] Panggilan untuk guru spiritual

0 komentar:

Posting Komentar

bagaimana tampilan blog ini?